Wednesday, October 13, 2010

05. KUNCI PENGETAHUAN

Kamis, 14 Oktober 2010

Bacaan : Ef. 1, 1-10 dan Luk. 11, 47-54


Dalam banyak kesempatan pertemuan dengan orang-orang yang saya anggap memiliki kompetensi dan keahlian khusus di bidangnya, saya selalu dibuat terkagum-kagum akan kehebatan pemahaman dan keahlian, juga ketrampilan yang mereka miliki. Saya betul memberikan penghargaan dan apresiasi tinggi buat mereka. Berbincang dengan mereka, di bayangan saya selalu terbersit pikiran ini, 'pengetahuan dan ketrampilan ini tentu kalau dijalankan, manfaatnya akan terasa luar biasa bagi masyarakat di mana mereka hidup bersama'.

Sebuah pengungkapan yang wajar, tentu saja. Namun ketika saya bertemu dengan beberapa kenalan yang juga mengenal 'orang ahli' tadi, selalu kesan yang sama muncul dalam cerita mereka. "Pengetahuannya memang begitu, tapi kami belum pernah lihat kenyataannya. Kami belum pernah merasakan buktinya yang memperbaiki kualitas hidup kami."

Yesus dalam bacaan Injil hari ini kembali mengecam orang Farisi, yang memang dalam pandangan orang banyak di masa itu, memiliki segala kehebatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi orang yang patut dicontoh. Bukan cuma itu, kehebatan dan pengetahuan mereka malah bisa membantu orang-orang yang hidup bersama mereka mengalami kehidupan yang lebih baik. Kecaman itu berlandasan, karena mereka memiliki apa yang disebut KUNCI-KUNCI PENGETAHUAN, tetapi mereka tak menggunakannya, malah mempersulit orang untuk mengaksesnya. "Celakalah kamu hai ahli Taurat, karena kamu mengambil kunci pengetahuan, dan kamu sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk, kamu halang-halangi."

Sebuah himbauan yang gemanya juga sangat besar buat kita semua yang memiliki segala kemungkinan pengetahuan, entah itu di bidang rohani, juga di berbagai keahlian di berbagai profesi., entah di sektor swasta, bisnis, pemerintah maupun LSM.

Baiklah kita bertanya jujur di hadapan Tuhan, apakah kita sungguh menggunakan semuanya itu untuk perubahan dan kebaikan orang banyak, terutama orang-orang kecil dan susah di sekitar kita?

Tuhan, kami juga Kau beri akses kepada kunci-kunci pengetahuan. Sering kali kami menguburkannya, kami malas mengembangkannya dan tak bertanggung jawab terhadap orang yang dengannya kami hidup. Tuhan semoga kami bertobat agar kami tidak celaka, seperti peringatanMu sendiri. Amin


Copyright@ Ledalero, 13 Oktober 2010, by Ansel Meo SVD

Monday, October 11, 2010

04. MENGHARGAI MANUSIA DALAM KESEMPATAN BERTEMU


Selasa, 12 Oktober 2010

Bacaan : Gal. 5, 1-6 dan Luk. 11, 37-41

Dalam berbagai kesempatan doa makan, terutama makan siang di rumah mereka yang mengundangku, hampir pasti isi doa saya setelah makan, selain bersyukur untuk rezeki yang baru disantap, tetapi juga mohon agar Tuhan memberkati pekerjaan yang akan dibuat soreh hari nanti dan terutama mendoakan setiap orang yang akan kujumpai sore hingga malam hari nanti.

Ketika ditanya, kenapa saya selalu mengucapkan doa itu, secara sangat singkat saya jawab, "Agar mereka yang akan kutemui, saya temui sebagai orang yang sudah diberkati Tuhan. Saya akan bertemu dengan orang yang telah kuberkati dalam doaku."

Dalam bacaan liturgi hari ini, kita bertemu dengan Yesus yang diundang makan oleh seorang yang sebenarnya menjadi tokoh agama dan tokoh masyarakat. Sesungguhnya pertemuan mereka adalah momen rahmat, ketika Yesus dijamu dan dia yang mengundang mendapatkan berkat bahkan hanya karena kehadiran Yesus di rumahnya. Tetapi, pertemuan itu baginya bukanlah sebuah ungkapan kebajikan tetapi sebuah momen pengadilan atas apa yang akan Yesus ucapkan dan Yesus lakukan. Ia tidak bebas dan tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang yang telah mengalami Allah sang pembebas.

Dan ia menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan siapa dirinya, seorang ahli hukum, seorang ahli agama yang terpelajar. Sayang sekali, inti hukum dan agama yang seharusnya ia wartakan dilupakan, yakni penghargaan terhadap manusia yang dijumpainya, manusia yang menjadi subyek hukum dan peraturan itu. Makanya, Yesus tak sungkan mengalamatkan kritikan demi perbaikan kepadanya, "Bersihkanlah yang di dalammu, maka semuanya menjadi bersih."

Sebuah seruan yang menggugat praktek hidup dan praktek keagamaan kita semua. Amat sering kita pergi menemui orang dengan praanggapan kita, dengan meremehkan kedudukan dan pribadi orang. Dan seringkali hubungan baik tak bisa diperbaiki karena orang bersikeras dalam pendapat tentang dirinya sebagai benar dan yang lain sebagai kurang benar. Sebetulnya kebiasaan ini menjadikan kita polisi dalam hidup. Pertemuan kita dengan siapapun hendaknya menjadi momen di mana kita bertemu dengan orang yang telah diberkati. Kalau kita dan dia adalah orang yang diberkati, maka kita sesungguhnya disatukan oleh Allah sang asal Hukum dan Peraturan, dan kita semua menjadi orang-orang bebas, anak-anakNya sendiri.

Tuhan, semoga kami terbiasa memberkati orang lain. Semoga kebiasaan mengucapkan salam menambahkan keyakinan iman kami kepadaMu Allah yang menciptakan kami sebagai anak-anakMu yang bebas dan saling menghargai. Amin.

Copyright @ Ledalero, 12 Oktober 2010, By Ansel Meo SVD

3. MENGHARGAI TANDA DALAM KESEHARIAN KITA


Senin, 11 Oktober 2010

Bacaan :

Gal. 4, 22-24.26-27.31; 5,1 dan Luk 11, 29 - 32


Seorang sahabat menulis di laman webnya sebuah pertanyaan yang diajukannya kepada Tuhan. Ia mempostingnya demikian, "Tuhan Engkau ada dimana saat negri ini dihantam Bencana, Wasior Papua luluh lantah, tsunami, gempa. Kau tahu bahwa itu ulah manusia . Engkau penguasa langit dan Bumi. Tolong Tuhan, jangan murka, kasihanilah Umatmu' ini." Di manakah Engkau ketika jerit tangis anak2 kehilangan ayah ibunya? Where is God; Dove 'e Dio. Solo Tu sei la Nostra Speranza ..."

Membacanya dengan penuh perhatian, permenungan saya membawa saya ke tempat di mana bencana terakhir terjadi, juga ke berbagai lokasi di dekatku, ketika pertanyaan yang sama seperti dia diajukan oleh mereka yang kukenal, kucintai.

Walau tak mengontak sahabatku itu, dan mengunjungi mereka yang di dekatku dengan pengalaman yang sama, pertanyaan mereka telah mengetuk hatiku. Aku bahkan mempersalahkan diriku, "Betapa mudahnya aku mengabaikan tanda yang nampak di hadapanku, yang berlalu di benakku."

Bacaan-bacaan hari ini meminta kita untuk menghargai TANDA itu. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan umatnya bahwa kita bukan anak-anak perhambaan tetapi anak dari ibu yang merdeka. Dan Yesus dalam bacaan Injil menolak untuk memberikan tanda agar umat pada masaNya percaya kepadaNya.

Tetapi apakah Yesus memang sungguh-sungguh menolak memberikan tanda itu agar mereka percaya? Rupanya tidak. Dengan berbicara tentang tanda Yunus, Yesus menunjukkan bahwa kematian dan kebangkitanNya adalah tanda syah perutusanNya. Juga mengisahkan tentang Ratu yang datang kepada Salomon untuk mendapatkan klarifikasi tentang kebijaksanaannya, sesungguhnya memperjelas bahwa warta dan ajaran Yesus yang mereka dengar lebih hebat dari kebijaksanaan Salomon. Yesus sedang menunjukkan Tanda Allah yang hidup yang disaksikanNya. Yesus sendiri Tanda itu.

Kita memang seyogyanya menjadi lebih peka menyaksikan tanda di sekitar kita. Ada begitu banyak tanda yang mengajar dan mengajak kita untuk bertindak baik dan bijak, mulai dari penghargaan terhadap kehidupan sampai kepada usaha untuk mempromosikan hidup. Dan tentu tanda terbesar kita temukan pada Dia yang adalah Kehidupan itu sendiri, Yesus Kristus sendiri. Kita menggunakan tandaNya, dimeteraikan dengan TandaNya, dan dipanggil dengan namaNya.

Apakah kita masih terus mempersalahkan Allah? Ataukah mulai sekarang menjadi lebih peka dan peduli akan upaya menghadirkan tanda Allah itu di tengah dunia?

Tuhan Yesus Kristus, Engkaulah Putra Allah, Tanda Kasih Allah bagi dunia. Kiranya kami yang menyebut diri kami dengan nama Kristen, namaMu sendiri juga menjadi tanda kasih Allah di manapun kami berada. Amin.

Copyright @ Ledalero, 11 Oktober 2010 by Ansel Meo SVD